Pendidikan Indonesia menghadapi tantangan untuk mampu menghasilkan lulusan yang mampu berpikir, bukan sekadar ingin cepat lulus dan mendapat gaji besar.
"Hasil-hasil riset internasional yang penting seperti PISA dan TIMSS menunjukkan Indonesia konsisten di bawah dalam kemampuan siswa di bidang matematika, sains, dan membaca. Kenyataan ini seharusnya menumbuhkan sense of crisis kita soal pendidikan. Kita perlu meneropong apa yang terjadi di ruang kelas. Sebab, apa yang terjadi di lapangan adalah produk kebijakan pendidikan yang memang banyak bermasalah," kata Elin Driana, praktisi pendidikan yang mendalami bidang riset dan evaluasi di Jakarta, Minggu (28/1/2013).
Persoalan tersebut dalam focus group discussion dengan topik "Wajah Pendidikan Indonesia" yang dilaksanakan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jakarta pekan ini. Ahmad Muchlis, pengajar Matematika di ITB, rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia dalam pendidikan sains dan matematika berimplikasi pada tataran individu dan kolektif.
"Dalam pengambilan keputusan memilih perangkat teknologi, mislanya, lebih memilih pada tampilan dan harga dibandingkan kegunaan, dan juga rentan terhadap isu atau rumor. Secara kolektif, terjadi ketergantungan teknologi, serta sulit memecahkan masalah kesehatan dan lingkungan," kata Ahmad.
Wayan Mesinario, alumni ITB yang bergerak di bidang enegeri dan sumber daya mineral (ESDM), mengatakan pendidikan Indonesia masih lemah dalam menghasilkan entrepreneur yang berilmu dan berionovasi yang mampu menciptakan lapangan kerja. Padahal, pemerintah melalui pendidikan bisa merencanakan kebutuhan peneliti profesional, pekerja, perencana, eksekutor, pemelihara, operator, dan entrepreneur.
"Kami kesulitan mencari pelaku di bidang bisnis ESDM. Padahal potensinya luar biasa. Perguruan tinggi harus diarahkan untuk bisa menciptakan entrepreneur yang berilmu dan berinovasi, bukan sekadar berani jadi pekerja," kata Wayan.
Krisis bidang pendidikan yang dialami Indonesia ini dinilai juga akibat kondisi guru yang belum berkualitas. Apriliana, alumni ITB lainnya, mengatakan perbaikan pendidikan di Indonesia tidak menyasar pada fondasi utama yakni guru.
Saat ini, guru sudah tidak lagi menjadi hidden curriculum akibat kualitas penyiapan dan pendidikan guru yang memprihatinakan yang dimulai di tingkat dasar. Abah Rama, alumni ITB yang mendalami pemetaan talenta, mengatakan dari survei yang pernah dilakukan terhadap 1.400 guru di DKI Jakarta, hanya sekitar 25 persen yang bertalenta menjadi guru. "Jadi ada masalah dalam passion guru sendiri. Masalah ini perlu diperhatikan," kata Abah Rama.
Menurut Abah Rama, dalam pendidikan dewasa ini, kompetensi sikap memang yang terutama. Disusul keahlian dan pengetahuan, tergantung pekerjaannya. "Selanjutnya yang tak kalah penting dikembangkan kememapun untuk mengetahui talenta tiap orang, misal untuk mengetahui dalam menyiapkan pemimpin atau entrepreneur," ujarnya.
Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan yang juga mantan Rektor ITB mengatakan pendidikan Indonesia menghadapi tantangan untuk mampu menghasilkan lulusan yang mampu berpikir, bukan sekadar ingin cepat lulus dan mendapat gaji besar. "Kondisi pendidikan di Indonesia memang disparitasnya besar. Kita juga menghadapi tantangan untuk mengembangkan sains, teknik, dan pertanian yang dapat mendorong kemajuan bangsa," kata Djoko.
Dalam kaitan dengan pendidikan guru, kata Djoko, pemerintah mendorong keras lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) untuk meningkatkan kualitas. "Guru kita sekarang ini mengalami krisis kehilangan 'keguruannya'. Menjadi guru lebih dianggap sebagai pekerjaan dibandingkan panggilan dari hati," kata Djoko.
Sumber : Kompas.com - 27 Jan 2013
Editor :Robert Adhi Ksp